Saturday, December 8, 2012

Sinopsis I Jayaprana dan Layonsari

          Tersebutlah 2 orang miskin laki istri berumah tinggal di Desa Kalianget ( Bali Utara ). Mereka mempunyai 3 orang anak, perempuan seorang dan laki-laki 2 orang. Ketika wabah menyerang, 4 orang dari mereka meninggal serempak. Tinggal seorang anak laki-laki yang ke 3 bernama I Jayaprana. Rupanya amat tampan dan tingkah lakunya sopan santun. Karena yatim piatu, ia diangkat oleh raja menjadi anaknya. Seiring waktu ia menjadi dewasa. Sri Baginda Raja sangat sayang kepadanya.
            Dia selalu diperintahkan oleh Sri Baginda agar cepat kawin. Dititahkan memilih beberapa dayang-dayang di dalam atau di luar istana. Mula-mula ia menolak perintah Sri Baginda, tetapi karena sering kali diperintahkan, kemudian ia memilih sebagai pasangannya seorang gadis yang cantik jelita, bernama Ni Layonsari, seorang anak Bendesa dari Banjar Sekar. Hal ini diberitahukan kepada Raja serta dengan perantaraan Sri Baginda, gadis itu dipinangnya.
            Sebelum hari perkawinan, oleh karena Sri Bagida amat sayang kepada I Jayaprana, maka untuk tempat kedua mempelai, dibuatkan rumah baru dan lain-lainnya yang dibangunkan dengan bentuk serba istimewa. Begitu pun upacara perkawinannya serta pakaian mempelai diselenggarakan dengan berlebih-lebihan.
            Maka pada hari perkawinan, setelah Sri Baginda melihat wajah Ni Layonsari, sekonyong-konyong Sri Baginda jatuh hati serta mau merebut dan memiliki Ni Layonsari. Tetapi seorang hulu balang bernama I Saunggaling menghalangi perbuatan Sri Baginda yang sedemikian di muka umum dan berjanji akan dengan mudah memperdayakan agar I Jayaprana dapat dimusnahkan.
            Karena persetujuan Sri Baginda dan I Saunggaling, maka setelah 42 hari dari hari perkawinannya, I jayaprana dipanggil ke istana oleh Sri Baginda serta ditipunya dengan jalan diperintahnya pergi ke Teluk Terima ( sebuah teluk di hutan yang jaraknya 55 km dari Kalianget ). Bersama 40 orang prajurit (diantaranya I saunggaling ) perlu mengusir suku Bangsa Bajo yang memburu menjangan dan kerbau tanpa izin.
            Di sanalah I jayaprana dibunuh oleh I Saunggaling. Ketika I Jayaprana ditikam dengan keris, keluarlah darah yang harum semerbak, yang menyebabkan kumbang banyak menghisap. Kemudian terdengar guruh, petir sambung-menyambung berkilap tampak di langit, hujan gerimis dan terasa pula gemuruh, gempa bergoncangan. Itu semua berarti satu tanda kehormatan kepada seorang yang bijaksana menemui ajalnya dengan tiada sesuatu kesalahan.
            Setelah itu, mayatnya dikubur lalu ditinggalkan kembali pulang. Di tengah jalan, para penghantar banyak tertimpa bencana, misalnya disergap harimau, mati tersedu, mati dipagut ular, dan lain-lain.
Setiba di rumah lalu mereka menghadap ke istana serta menceritakan sesuatu yang dilakukan dan apa yang terjadi. Sri Baginda amat senang hatinya. Kemudian mulai mencoba membujuk Ni Layonsari. Oleh Karena Ni Layonsari beriman teguh, bagaimanapun caranya membujuk, tiada dapat Sri Baginda memikat hatinya.
            Lama-kelamaan Ni Layonsari tiada sanggup menghadapi gangguan Sri Baginda ditambah pula dengan perasaan cintanya kepada suaminya, lalu ia membunuh dirinya dengan keris. Setelah Sri Baginda melihat mayat Ni Layonsari, ia mengamuk di dalam dan di luar istana yang mengakibatkan banyak korban. Beliau juga membunuh dirinya sendiri. Beberapa bendesa yang cinta kepada Sri Baginda menerima fitnah bahwa wafatnya Sri baginda ialah karena perbuatan rakyat. Karena itu, mereka sebagai pembela mengamuk dan rakyat sebagai penentang lalu menolak serangan itu.
            Tangkis menangkis, tusuk menusuk, dan diikuti lagi oleh semua rakyat, besar-kecil, laki-perempuan menyerbu, turut mengamuk sengit, dahsyat, tiada berketentuan mana kawan mana lawan asal dekat ditikam, asal rapat dipenggal, yang kemudian menyebabkan desa tersebut hancur lebur dalam sehari itu juga. Seluruh penduduknya menjadi korban kecuali keluarga Jro Bendesa ( orang tuanya Ni Layonsari ) masih hidup bahagia serta selamat sentosa.

No comments:

Post a Comment