Tersebutlah
2 orang miskin laki istri berumah tinggal di Desa Kalianget ( Bali Utara ). Mereka
mempunyai 3 orang anak, perempuan
seorang dan laki-laki
2 orang. Ketika wabah menyerang, 4
orang dari mereka meninggal
serempak. Tinggal seorang anak laki-laki
yang ke 3 bernama I Jayaprana. Rupanya amat tampan dan tingkah lakunya sopan
santun. Karena yatim piatu, ia
diangkat oleh raja menjadi anaknya. Seiring waktu ia menjadi dewasa. Sri
Baginda Raja sangat sayang kepadanya.
Dia selalu diperintahkan oleh Sri Baginda
agar cepat kawin. Dititahkan memilih beberapa dayang-dayang di dalam atau di luar
istana. Mula-mula
ia menolak perintah Sri Baginda, tetapi
karena sering kali
diperintahkan,
kemudian ia memilih sebagai pasangannya seorang gadis yang cantik jelita, bernama Ni Layonsari, seorang anak Bendesa
dari Banjar Sekar. Hal ini diberitahukan kepada Raja serta dengan perantaraan
Sri Baginda, gadis
itu dipinangnya.
Sebelum hari perkawinan, oleh karena Sri Bagida
amat sayang kepada I Jayaprana, maka untuk tempat kedua
mempelai, dibuatkan rumah baru dan lain-lainnya yang dibangunkan
dengan bentuk serba istimewa. Begitu pun upacara perkawinannya serta pakaian
mempelai diselenggarakan dengan berlebih-lebihan.
Maka pada hari perkawinan, setelah Sri Baginda
melihat wajah Ni Layonsari, sekonyong-konyong Sri Baginda jatuh hati
serta mau merebut dan memiliki Ni Layonsari. Tetapi seorang hulu balang bernama I
Saunggaling menghalangi perbuatan Sri Baginda yang sedemikian di muka umum dan
berjanji akan dengan mudah memperdayakan agar I Jayaprana dapat dimusnahkan.
Karena persetujuan Sri Baginda dan I
Saunggaling,
maka setelah 42 hari dari hari perkawinannya, I jayaprana dipanggil
ke istana oleh Sri Baginda serta ditipunya dengan jalan diperintahnya pergi ke
Teluk Terima ( sebuah teluk di hutan yang jaraknya 55 km dari Kalianget ).
Bersama 40 orang prajurit (diantaranya I saunggaling ) perlu mengusir suku
Bangsa Bajo yang memburu menjangan dan kerbau tanpa izin.
Di sanalah I jayaprana dibunuh
oleh I Saunggaling. Ketika I Jayaprana ditikam dengan keris, keluarlah darah yang
harum semerbak, yang
menyebabkan kumbang banyak menghisap. Kemudian terdengar guruh, petir
sambung-menyambung berkilap tampak di langit, hujan gerimis dan
terasa pula gemuruh, gempa
bergoncangan. Itu
semua berarti satu tanda kehormatan kepada seorang yang bijaksana menemui
ajalnya dengan tiada sesuatu kesalahan.
Setelah itu, mayatnya dikubur lalu
ditinggalkan kembali pulang. Di tengah jalan, para penghantar banyak
tertimpa bencana, misalnya
disergap harimau, mati
tersedu, mati
dipagut ular, dan
lain-lain.
Setiba di rumah lalu mereka menghadap ke
istana serta menceritakan sesuatu yang dilakukan dan apa yang terjadi. Sri
Baginda amat senang hatinya. Kemudian mulai mencoba membujuk Ni Layonsari. Oleh
Karena Ni Layonsari beriman teguh, bagaimanapun caranya membujuk, tiada dapat Sri Baginda
memikat hatinya.
Lama-kelamaan Ni Layonsari tiada
sanggup menghadapi gangguan Sri Baginda ditambah pula dengan perasaan cintanya
kepada suaminya,
lalu ia membunuh dirinya dengan keris. Setelah Sri Baginda melihat mayat Ni
Layonsari, ia
mengamuk di dalam dan di luar istana yang mengakibatkan banyak korban. Beliau juga membunuh
dirinya sendiri. Beberapa bendesa yang cinta kepada Sri Baginda menerima
fitnah bahwa wafatnya Sri baginda ialah karena perbuatan rakyat. Karena itu, mereka sebagai pembela
mengamuk dan rakyat sebagai penentang lalu menolak serangan itu.
Tangkis
menangkis, tusuk
menusuk, dan
diikuti lagi oleh semua rakyat, besar-kecil, laki-perempuan menyerbu, turut mengamuk sengit, dahsyat, tiada berketentuan
mana kawan mana lawan asal dekat ditikam, asal rapat dipenggal, yang kemudian
menyebabkan desa tersebut hancur lebur dalam sehari itu juga. Seluruh penduduknya
menjadi korban kecuali keluarga Jro Bendesa ( orang tuanya Ni Layonsari ) masih
hidup bahagia serta selamat sentosa.
No comments:
Post a Comment