Sunday, June 15, 2014

Ni Nengah Sukranis, Mengais Rezeki Lewat Sampah



Tidak semua orang setegar wanita yang satu ini. Siang itu, sosoknya terlihat mencari-cari sesuatu di tengah gerumunan daun-daun hijau. Ternyata, ia sedang mencari sayur untuk dimakan nanti. Ia masih menggunakan baju dan celana kusutnya yang hampir tidak pernah diganti selama 4 hari. Wajahnya yang kusam, ditambah dengan keringat yang bercucuran tidak membuat semangatnya pudar untuk mendapat sayuran segar sebagai persiapan makan keluarganya.
Dia adalah Ni Nengah Sukranis (45). Wajahnya nampak lebih tua daripada umurnya, yang mencerminkan betapa keras kehidupan yang harus ia jalani. Wanita kelahiran 31 Desember 1968 ini tinggal di Jalan Gajah Mada, Gang Bayusuta 1, Banjar Jawa, Singaraja, bersama suaminya I Wayan Gelis (50).                                                                                                                                                                                     Pasangan tersebut masuk ke dalam kategori keluarga miskin yang hidupnya serba kekurangan dan sangat memprihatinkan.
Nengah Sukranis menyambung hidup dengan cara mengais (memulung) barang yang sudah dibuang orang. Rata-rata setiap hari, ia hanya mampu mendapat uang Rp10.000 dari hasil penjualan barang bekas yang diperolehnya. Biasanya ia memulung di sekitaran Banjar Jawa dan Banjar Tengah saja karena ketidakberdayaannya menarik gerobak ke tempat jauh. Ketidakberdayaannya menghidupi diri dan keluarga dengan bekerja sebagai pemulung diakibatkan minimnya kemampuan yang dimiliki. “Tiang ten taen masuk nike, ten bise mace lan nulis”, katanya dengan lemah. Ia tidak pernah tersentuh dunia pendidikan dan menjadikan ia tidak bisa membaca dan menulis. Ujungnya ia hanya seorang perempuan yang buta huruf. Penyakit yang sering menyerang orang-orang sepertinya.
Memulung ia kerjakan dari pukul 06.00 wita – 11.00 wita, berbekal tas belanja berisikan sebotol air minum yang sewaktu-waktu ia teguk untuk menghilangkan dahaga. Sementara ia memulung, suaminya akan menunggu di rumah dengan harapan mendapat banyak sampah agar setelah dijual bisa digunakan untuk membeli beras. Selain memulung, dia juga terkadang menjual canang kepada tetangga. Semua itu dia lakukan demi mendapatkan uang untuk menyambung kehidupan keluarga. Dia menjadi pahlawan di dalam keluarganya, karena suaminya tidak bisa bekerja lagi semenjak matanya buta. Mata suaminya buta akibat terkena ujung kayu yang akan digunakan untuk membangun rumah saat ia bekerja sebagai buruh bangunan. Dulu, suaminya bekerja serabutan. Siang hari menjadi buruh bangunan, dan malam harinya bekerja sambilan sebagai tukang ojek. Namun, semenjak keadaan matanya memburuk hingga divonis mengalami kebutaan, dia tidak bisa bekerja lagi dan yang menafkahi keluarga adalah Ni Nengah Sukranis. Walaupun begitu, untuk sekadar memasak dan bersih-bersih rumah, suaminya bisa diandalkan.
Untungnya, Nengah Sukranis merupakan tipe wanita yang mudah bergaul, terbuka dan sering bersosialisasi di lingkungannya. Ia dan suaminya mempunyai dua orang anak. Anak pertama sudah meninggal saat baru lahir, dan anak kedua bernama I Kadek Ariawan (25). Kadek hanya tamatan Sekolah Dasar. Dia tidak bisa mencapai cita-citanya karena tidak memiliki biaya untuk bersekolah. Dia bernasib sama dengan orangtuanya, sehingga tidak mampu membantu sang orangtua. Kadek tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Dia kebanyakan tinggal di rumah dan sekali waktu jika ada yang membutuhkan tenaga buruh di sekitar rumah, dia akan bekerja di sana. Tentunya dengan upah yang tidak seberapa.
Bahkan, yang lebih menyedihkan, rumah yang selama ini menjadi satu-satunya tempat bernaung Nengah Sukranis dan suami serta anak tercinta, termasuk rumah yang tidak layak huni dan tidak sehat. Barang-barang yang masih bisa dipakai dari hasil memulung kerap ia gunakan untuk barang keperluan rumah tangganya. Diperparah lagi dengan tiadanya penerang atau lampu listrik, lengkaplah penderitaan hidup yang dialami beliau. Saat malam tiba, ia hanya mengandalkan damar sentir yang sudah usang untuk penerangan.  Tanah yang ditempati pun, bukan tanah miliknya. Tanah itu ia tempati sudah sekitar 7 tahun lalu,  dengan persetujuan dari pemilik tanah, Ni Kadek Andriani seorang pegawai Telkom. Andriani merasa iba dengan keluarga Sukranis sehingga merelakan sedikit tanahnya untuk dihuni tanpa uang sewa.